Diary III

11 Oktober 2017
Kurang lebih dua bulan saya kuliah disini. Masih labil kayaknya. Seperti yang saya katakan sebelumnya. Seolah, memilih jalan ini adalah sebuah pelampiasan dari dilema anak yang tidak memahami mimpi dan keinginannya. Punya ego dan gengsi yang begitu tinggi. Banyak hal yang ia pikirkan matang matang sehingga, tidak satuppun ada yang dijalankan. Hhhhhh~ sangat disayangkan kan? Kalau saya bisa putar kembali waktu itu, saya tidak akan sesempit kala itu. Sesederhana "saya mau ini" mungkin akan lebih bisa mengantarkan saya ke tempat yang lebih nyaman dari ini.

Anggap saja saya kurang bersyukur. Tapi, bukan itu yang menjadi masalah saya. Bisakah kamu bayangkan, setiap hari, tidak itu berlebihan. Yah, tidak setiap hari. Tapi berulang kali, kamu merasa ini bukan tempat yang sama seperti apa yang hati kamu inginkan. Kamu ingin pergi. Apa di tempat lain akan lebih baik? Tidak ada yang tahu. Tapi dalam pikiranku, menjalani sesulit apapun keadaan nantinya, jika hal itu adalah yang saya inginkan, mungkin rasanya tidak akan seberat seperti menjalani hal mudah yang tidak saya inginkan. Mana tempat yang lebih baik? Jujur, mungkin yang sekarang inilah yang lebih baik. Lantas, kenapa saya menginginkan tempat lain yang belum tentu lebih baik? Saya merasa, saya akan lebih baik jika berada disana. Akan lebih menikmati tepatnya. Disini, semua sudah baik baik saja, kecuali hati saya berkata tidak. Rasanya berat. Ospek satu semester, berkali kali kena marah dosen, dan semua hal yang lebih meyakinkan untuk saya memutuskan ingin memilih jalan lain.

Hanya Dia yang tahu mana yang terbaik. Jika ini jalannya saya memohon, bantu saya untuk bertanggungjawab atas apa yang Engkau berikan. Jika ada jalan lainnya yang dirasa lebih baik untuk saya, saya mohon bukalah jalan itu untuk saya. Antarkan saya kesana. Tempat dimana saya bersedia  untuk sakit dan bangkit berkali kali. Tempsat dimana saya bisa bertanggungjawab atas diri saya sendiri. Mampu untuk melakukan yang terbaik.

Sekarang, keluh kesah ini tidak bisa saya sampaikan ke siapa pun. Orangtua sekalipun. Saya sudah berjanji tidak akan kembali mengeluh. Ya, di depan mereka. Tapi, setiap saya sendirian, berkali kali merasakan hal seperti ini, keluhan kembali saya lontarkan. Sahabat, ya memang mereka selalu ada. Tapi saya juga harus mengerti bahwa mereka pun punya masalah yang harus mereka selesaikan sendiri. Jadi, hanya saya dan  pikiran saya yang hanya saling berbagi keluhan ini. Di dalam kamar ini.
Ruang sendiri. Benar benar sendiri.

Komentar